Kerajaan Mataram Islam

Perpindahan kekuasaan dari Kerajaan Demak ke Kerajaan Pajang hingga ke Mataram diliputi pergesaran pusat pemerintahan dari pinggir pantai ke pedalaman. Pernakah anda ke Kota Yogyakarta? Jika pernah, maka berarti anda sudah ke pusat Kerajaan Mataram tempo dulu. Secara geografis, pusat Kerajaan Mataram terletak di Daerah istimewa Yogyakarta, yaitu di Kotagede.

Wilayah Kekuasaan Kerajaan Mataram pada Masa Sultan Agung Hanyokrokusumo

Pemindahan pusat pemerintahan Pajang ke Mataram pada tahun 1568 oleh Sutawijaya menandai berdirinya Kerajaan Mataram. Tanah Mataram sendiri merupakan hadiah atas jasa Ki Ageng Pemanahan, Ki Juru Martani dan Ki Penjawi beserta Danang Sutawijaya yang telah berhasil mengalahkan Arya Penangsang, Adipati Jipang Panolan. Sebagai raja pertama, maka diangkat Danang Sutawijaya yang kemudian bergelar Panembahan Senapati. Dalam perkembangannya menjadi kerajaan besar, Panembahan Senapati berhasrat untuk menaklukkan dan meluaskan kekuasaannya atas seluruh Jawa. Oleh karena itu, satu persatu berbagai daerah di Jawa ditaklukan. Pada tahun 1586, Mataram berhasil menghadapi Demak. Selanjutnya, di tahun 1595 Mataram berhasil menundukkan Cirebon dan Galuh. Hingga akhir masa pemerintahan Panembahan Senapati tahun 1601, Mataram telah berhasil menguasai Galuh di Jawa Barat sampai Pauruan Jawa Timur. Upaya perluasan wilayah dan kekuasaan politik Mataram atas Jawa kemudian diteruskan hingga pada zaman Sultan Agung.

Setelah Panembahan Senapati wafat, maka pemerintahan diteruskan oleh putranya yang bernama Raden Mas Jolang. Setelah bertahta, ia mendapatkan gelar Sri Susuhunan Adi Prabu Hanyakrawati Senapati Ing Ngalaga Mataram. Raden Mas Jolang juga sering disebut sebagai Panembahan Seda Ing Krapyak karena pada masa akhir hidupnya meninggal di Krapyak. Pemerintahan Raden Mas Jolang menghadapi pemberontakan di Demak (1601-1604). Setelah wafat, Raden Mas Jolang digantikan oleh Adipati Martapura yang hanya menjabat selama satu hari yang kemudian digantikan oleh saudaranya yaitu Mas Rangsang. Setelah Mas Rangsang menjadi Raja Mataram, ia bergelar Sultan Agung Senapati Ing Alaga Ngabdurrahman Kalifatullah atau lebih dikenal sebagai Sultan Agung.

Sultan Agung
  1. Aspek Bidang Politik

Pada masa kekuasaan Sultan Agung terjadi pemberontakan para bupati yang tidak mau tunduk kepada Mataram, seperti Bupati Pati, Lasem, Tuban, Surabaya, Madura, Blora, dan Bojonegoro. Mataram juga menghadapi ancaman dari Kerajaan Banten dan VOC di Batavia. Sejak 1615 Sultan Agung menyerang para bupati daerah pesisir, sehingga Semarang, Jepara, Demak, Lasem, Tuban dan Madura dapat ditundukkan Mataram. Namun, Surabaya belum dapat ditaklukkan oleh Mataram. Kemudian Mataram menyerang Surabaya dengan kekuatan prajurit 80.000. Setelah digempur habis-habisan, Surabaya dapat dikuasai pada tahun 1625. Pada tahun 1628 Mataran gagal menyerang Batavia karena mengalami kekurangan perbekalan.

Pada tahun 1641 Malaka jatuh ke tangan Belanda. Belanda juga menguasai jalur perdagangan laut di Nusantara. Sepak terjang Belanda menyulitkan Kerajaan Mataram, sehingga mendorong Mataram melakukan perlawanan terhadap Belanda. Usaha tersebut terhenti saat Sultan Agung wafat pada tahun 1645 dan digantikan putranya yang bergelar Amangkurat Agung (1645-1677). Amangkurat pernah memerintahkan pembantaian 1000 ulama pada tahun 1651.

Kebijakan Amangkurat menimbulkan perlawanan dari bangsawan Mataram. Amangkurat wafat di Tegalarum dalam usahanya mencari perlindungan kepada Belanda pada tahun 1677. Setelah wafat ia digantikan oleh putranya yaitu Amangkurat II. Pada tahun 1680 Mataram menyerahkan Bogor, Karawang dan Priangan sebagai imbalan atas usaha Belanda mengalahkan Trunojoyo. Belanda berhasil memecah belah Kerajaan Mataram menjadi kerajaan kecil. Pengaruh Belanda yang begitu kuat menjadikan Mataram akhirnya berhasil dipecah belah menjadi kerajaan kecil melalui Perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755.

Perjanjian Giyanti membagi Mataram menjadi 2 bagian, yakni wilayah Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Selanjutnya, 2 tahun setelah perjanjian Giyanti, Mataram terpecah kembali menjadi 3 kerajaan dengan adanya Perjanjian Salatiga pada tahun 1757 sebagai solusi atas perlawanan yang dilakukan oleh Raden Mas Said atau lebih dikenal sebagai Pangeran Sambernyawa terhadap Sunan Pakubuwana III. Atas perjanjian Salatiga tersebut maka berdirilah Praja Mangkunagaraan dengan Raden Mas Said menjadi Mangkunegara I. Lalu berikutnya, karena perebutan kekuasaan maka pada tanggal 17 Maret 1813 Inggris yang pada waktu itu dibawah Raffl es membagi Kasultanan Yogyakarta menjadi dua, yakni Kasultanan Yogyakarta dan Puro Pakualaman dengan raja pertama Bendara Pangeran Haryo Notokusumo yang bergelar menjadi Kanjeng Gusti Pangeran Arya Adipati Pakualam

  • Aspek ekonomi

Kegiatan perekonomian yang diterapkan Sultan Agung bercorak agraris maritim. Dibawah kekuasannya, Mataram menjadi negara pengekspor beras. Sultan Agung mengembangkan perdagangan ekspor dan impor melalui pelabuhan pesisir utara Jawa, Seperti Jepara, Kendal, dan Tegal. Tanggung jawab setiap pelabuhan dipegang oleh para tumenggung.

Dalam memajukan sektor ekonomi rakyat, Sultan Agung merasa tersaingi oleh para pedagang di pesisir utara. Bandar-bandar dagang di pesisir utara Jawa yang membakang diserang oleh Mataram. Selanjutnya, para pedagang diikat dalam satu kerjasama, sehingga dari kerjasama itu kerajaan juga memperoleh keuntungan ekonomi.

Di bawah kepemimpinan Sultan Agung, Kerajaan Mataram bertambah luas dengan dikuasainya berbagai daerah pesisir. Kondisi ini dimanfaatkan oleh Sultan Agung untuk mengembangkan perdagangan. Perdagangan yang ditunjang dengan hasil pertanian yang melimpah menyebabkan perekonomian Kerajaan Mataram semakin maju. Persaingan di bidang perdagangan inilah awal mula munculnya konfl ik antara Kerajaan Mataram dan VOC. Konfl ik berakhir dengan dikuasainya Kerajaan Mataram oleh VOC.

  • Aspek sosial

Masyarakat di Kerajaan Mataram merupakan masyarakat yang teratur. Raja selain sebagai pemimpin pemerintahan, juga dianggap sebagai pemimpin agama. Guna memperkuat legitimasi kekuasaannya, Sultan Agung mengirim utusan ke Mekkah pada tahun 1641 untuk mengesahkan kekuasaannya. Utusan tersebut kembali dari Mekkah dengan membawa pengesahan gelar sultan dan para ulama yang diangkat sebagai penasihat Kerajaan Mataram. Gelar sultan dari mekkah adalah Sultan Abdul Muhammad Maulana Mataram.

  • Aspek Budaya

Pada masa pemerintahan Sultan Agung, kehidupan budaya Mataram berkembang pesat, seperti dibidang seni, sastra, bangunan, ukir dan lukis. Sultan Agung dikenal sebagai seseorang ahli politik, sastra dan filsafat Jawa serta agama. Ia menyusun sebuah karya sastra berjudul “Sastra Gending” dan menyusun kitab undangundang baru yang merupakan perpaduan dari hukum Islam dan hukum adat Jawa yang disebut “Hukum Surya Alam”. Sultan Agung juga menciptakan kalender Jawa yang menggunakan perhitungan tahun yang sama dengan tahun Hijriah, misalnya Muharam diganti dengan Syuro dan Ramadan diganti dengan Poso. Sultan Agung memperbaruhi perhitungan kalender Jawa dengan menyeleraskan perhitungan tahun Hijriah dengan tahun Saka Jawa.

Pada masa pemerintahan Sultan Agung juga tumbuh kebudayaan kejawen yaitu akulturasi antara kebudayaan Jawa asli, Hindu-Buddha, dan Islam. Akulturasi kebudayaan Hindu-Buddha dan Islam menghasilkan upacara grebeg seperti grebeg syawal, grebeg maulud atau sekaten. Saat ini masih berkembang dalam masyarakat Jawa.