Modernisasi Dunia Industri

Revolusi Industri

Revolusi industri ditandai dengan penemuan mesin uap untuk mendukung mesin produksi, kereta api dan kapal layar. Berbagai peralatan kerja yang semula bergantung pada tenaga manusia dan hewan kemudian digantikan dengan tenaga mesin uap. Dampaknya, produksi dapat dilipatgandakan dan didistribusikan ke berbagai wilayah secara lebih masif.

Revolusi Industri dimulai di Inggris sekitar tahun 1870 menunjukan, bahwa Inggris merupakan pencetus perekonomian modern. Selain itu revolusi Industri juga mendorong Inggris untuk menjelajah dunia luar dan melakukan penjajahan (Djaja dalam Kultsum, 2018).

Imperialisasi dan kolonialisasi yang dilakukan bangsa Inggris begitu luas hingga hampir ke seluruh benua di dunia yakni Amerika, Asia, Afrika, dan Australia. Sehingga Inggris memiliki julukan negeri di mana matahari tidak pernah tenggelam. Bahasa Inggris pun hingga hari ini menjadibahasa pergaulan dunia. Memiliki koloni yang banyak mencirikan Inggris dapat dikatakan unggul dalam bidang militer dan perekonomiannya.

Fajariah dalam Jurnal Historia Volume 7, Nomor 1 Tahun 2019 menjelaskan ada tiga tahap revolusi industri. Pertama, Domestic System, tahap kerajinan rumah (home industry) para pekerja di rumah masing-masing yang dimiliki sendiri. Hasil industri berupa kerajinan yang sedang dikerjakan oleh para pekerja berdasarkan hasil kerja yang diperolehnya. Kedua, Manufacture, pabrik dengan puluhan tenaga kerja di bagian belakang rumah majikan. Rumah bagian tengah tempat tinggal dan bagian depan sebagai toko untuk menjual produk. Hubungan majikan dengan pekerja dan kerja yang lebih akrab karena tempat kerjanya jadi satu. Ketiga, Factory Sistem, industri yang menggunakan mesin. Perkembangan revolusi industri di Inggris ditandai dengan penemuan mesin-mesin yang berguna bagi dunia industri.

James Watt pada 1763 menemukan mesin uap. Pada tahun 1780-an perusahaan Boulton dan James Watt memproduksi mesin uap baik untuk keperluan Inggris maupun untuk suatu perdangangan ekpor. Pada tahun 1768, ilmuwan Richard Arkwright dan John Kay menemukan alat tenun yang dapat memproduksi cepat (fl ying, shuttle dan water frame).

Dengan demikian, industrialisasi semakin masif dan merambah seluruh dunia. Catatan Rosyadi dalam https://www.researchgate.net/publication/324220813_REVOLUSI_INDUSTRI_40, bahwa dengan ditemukannya energi listrik dan konsep pembagian tenaga kerja untuk menghasilkan produksi dalam jumlah besar pada awal abad ke-19. Energi listrik mendorong para imuwan untuk menemukan berbagai teknologi lainnya seperti lampu, mesin telegraf, dan teknologi ban berjalan. Puncaknya, diperoleh efesiensi produksi hingga 300 persen. Pada awal abad ke-20 telah melahirkan teknologi informasi dan proses produksi yang dikendalikan secara otomatis. Mesin industri tidak lagi dikendalikan oleh tenaga manusia tetapi menggunakan Programmable Logic Controller (PLC) atau sistem otomatisasi berbasis komputer. Dampaknya, biaya produksi menjadi semakin murah.

Teknologi informasi juga semakin maju di antaranya teknologi kamera yang terintegrasi dengan mobile phone dan semakin berkembangnya industri kreatif di dunia musik dengan ditemukannya musik digital. Teknologi internet yang semakin masif tidak hanya menghubungkan jutaan manusia di seluruh dunia tetapi juga telah menjadi basis bagi transaksi perdagangan dan transportasi secara online. Berkembangnya teknologi autonomous vehicle (mobil tanpa supir), drone, aplikasi media sosial, bioteknologi dan nanoteknologi semakin menegaskan bahwa dunia dan kehidupan manusia telah berubah secara fundamental.

Pengaruh utama dari industrialisasi adalah perkembangan ilmu pengetahuan dan kebutuhan akan tenaga kerja. Ilmu pengetahuan baru dikembangkan untuk mendukung spesialisasi dalam bidang tertentu. Misalnya dengan adanya pabrik-pabrik yang mengelola banyak tenaga kerja dan berbagai macam aktivitas berkembang ilmu ekonomi dalam ilmu manajemen, ilmu akuntansi, ilmu pemasaran, dan ilmu pembangunan. Bukan saja ilmu ekonomi saja yang berkembang, cabang-cabang ilmu pengetahuan lainnya juga muncul spesialisasi, ada ilmu hukum perburuhan, ilmu hukum diplomasi, ilmu hukum agraria.

Dalam bidang teknologi, berkembang ilmu teknik mesin, ilmu teknik elektronika, ilmu teknik bangunan. Di samping perkembangan ilmu pengetahuan, maka kebutuhan tenaga kerja meningkat untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di pabrik-pabrik. Akibatnya terjadi arus urbanisasi, penggunaan tenaga yang murah sampai ke perbudakan, yang kemudian memunculkan gerakan sosial untuk menentang penumpukan modal kaum kapitalis. Akibat lainnya, barang-barang menjadi melimpah, kebutuhan bahan baku meningkat, keuntungan kaum kapitalis berlipat ganda, kemudian mencari daerah-daerah baru sebagai jajahan.

Revolusi Industri 4.0

Prasetyo (2018) menuliskan, bahwa istilah Industri 4.0 berasal dari Jerman ketika diadakan Hannover Fair pada tahun 2011. Jerman sangat berkepentingan dengan industri 4.0 berkenaan kebijakan rencana pembangunannya yang disebut High-Tech Strategy 2020.

Kebijakan tersebut bertujuan untuk mempertahankan Jerman agar selalu menjadi yang terdepan dalam dunia manufaktur. Beberapa negara juga menggunakan konsep Industri 4.0 dengan istilah yang berbeda seperti Smart Factories, Industrial Internet of Things, Smart Industry, atau Advanced Manufacturing. Semuanya memiliki tujuan yang sama yaitu untuk meningkatkan daya saing industri tiap negara dalam menghadapi pasar global yang sangat dinamis. Kondisi tersebut diakibatkan oleh pesatnya perkembangan pemanfataan teknologi digital di berbagai bidang.

Angela Merkel sebagaimana dikutip oleh Prastyo (2018) berpendapat bahwa industri 4.0 adalah transformasi komprehensif dari keseluruhan aspek produksi di industri melalui penggabungan teknologi digital dan internet dengan industri konvensional. Sedangkan menurut Schlechtendahl (dalam Prasetyo, 2018) menekankan defi nisi kepada unsur kecepatan dari ketersediaan informasi, yaitu sebuah lingkungan industri di mana seluruh entitasnya selalu terhubung dan mampu berbagi informasi satu dengan yang lain. Pengertian yang lebih teknis disampaikan oleh Kagermann (dalam Prastyo, 2018), bahwa industri 4.0 adalah integrasi dari Cyber Physical System (CPS) dan Internet of Things and Services (IoT dan IoS) ke dalam proses industri meliputi manufaktur dan logistik serta proses lainnya. CPS adalah teknologi untuk menggabungkan antara dunia nyata dengan dunia maya.

Penggabungan ini dapat terwujud melalui integrasi antara proses fisik dan komputasi (teknologi embedded computers dan jaringan) secara close loop. Hermann (dalam Prastyo, 2018) menambahkan, bahwa Industri 4.0 adalah istilah untuk menyebut sekumpulan teknologi dan organisasi rantai nilai berupa smart factory, CPS, IoT dan IoS. Smart factory adalah pabrik modular dengan teknologi CPS yang memonitor proses fi sik produksi kemudian menampilkannya secara virtual dan melakukan desentralisasi pengambilan keputusan.

Melalui IoT, CPS mampu saling berkomunikasi dan bekerja sama secara real time termasuk dengan manusia. IoS adalah semua aplikasi layanan yang dapat dimanfaatkan oleh setiap pemangku kepentingan baik secara internal maupun antar organisasi. Kesimpulan yang diambil oleh Prastyo (2018), bahwa industri 4.0 sebagai era industri di mana seluruh entitas yang ada di dalamnya dapat saling berkomunikasi secara real time kapan saja dengan berlandaskan pemanfaatan teknologi internet dan CPS guna mencapai tujuan tercapainya kreasi nilai baru ataupun optimasi nilai yang sudah ada dari setiap proses di industri.

Potensi Manfaat Industri 4.0 yang berhasil diidentifi kasi oleh Prastyo (2018), antara lain:

  1. Pengembangan produk menjadi lebih cepat, mewujudkan permintaan yang bersifat individual (kustomisasi produk), produksi yang bersifat fleksibel dan cepat dalam menanggapi masalah serta efi siensi sumber daya.
  2. Perbaikan produktivitas, mendorong pertumbuhan pendapatan, peningkatan kebutuhan tenaga kerja terampil, peningkatan investasi.
  3. Terwujudnya kustomisasi masal dari produk, pemanfaatan data idle dan perbaikan waktu produksi.
  4. Mampu memenuhi kebutuhan pelanggan secara individu, proses rekayasa dan bisnis menjadi dinamis, pengambilan keputusan menjadi lebih optimal, melahirkan model bisnis baru dan cara baru dalam mengkreasi nilai tambah.
  5. Mewujudkan proses manufaktur yang efi sien, cerdas dan on-demand (dapat dikostumisasi) dengan biaya yang layak.