Penyatuan Jerman

Thomas Flemming dan Hagen Koch dalam The Berlin Wall: Division of a City menulis bahwa pada 13 Agustus 1961 mulai dibangun tembok sebagai dinding pembatas antara wilayah Berlin bagian barat milik Jerman Barat dengan Berlin bagian timur milik Jerman Timur. Blok Timur menyatakan bahwa Tembok Berlin dibangun untuk melindungi warganya dari berbagai pengaruh yang dapat memicu gerakan-gerakan besar sehingga mereka dapat membentuk pemerintahan komunis di Jerman Timur. Itu sebenarnya hanya dalih semata karena dalam kenyataannya, Tembok Berlin didirikan untuk mencegah penduduk Jerman Timur ke wilayah Jerman Barat. Dinding raksasa ini dibangun tepat di tengah Kota Berlin.

Lebih lanjut Dora Damjannovic dalam “The Reunifi cation of Germany & Global Social Evolution” dijelaskan bahwa perspektif historis sangat penting digunakan untuk memahami reunifi kasi Jerman. Asal-usul kelahiran Jerman bisa ditarik dari eksistensi Kerajaan Prusia dan Kekaisaran Austria. Keduanya tergolong kekaisaran paling kuat di Eropa pada dekade 1860-an. Didominasi oleh elite berbahasa Jerman, keduanya sama-sama berupaya untuk memperluas pengaruh serta wilayah. Pada 1866 Austria dan Prusia terlibat perang. Pemenangnya adalah Prusia yang dipimpin Otto von Bismarck. Empat tahun setelahnya, Kekaisaran Jerman didirikan. Wilhelm I menjadi kaisar, sementara von Bismarck menjabat kanselir.

Eropa pada masa itu menjadi saksi lahirnya Imperialisme Baru (New Imperialism). Negara-negara seperti Inggris dan Perancis beramai-ramai melakukan ekspansi dan penjajahan di Afrika, Timur Tengah, maupun Asia. Ekspansi itu, bagi negara negara Eropa yang tengah bergerak ke arah industrialisasi, merupakan langkah penting. Mereka butuh wilayah guna memperluas pasar secara global dalam rangka menjual produkproduk yang tidak bisa dijual di dalam negeri.

Kebutuhan akan tenaga kerja murah, di samping juga pasokan bahan baku yang stabil seperti minyak, karet, dan mangan, mengharuskan negara-negara industri tersebut mempertahankan kontrol yang kuat atas wilayah jajahan. Hanya dengan mengendalikan wilayah jajahan secara langsung, yang berarti mendirikan koloni, ekonomi industri dapat bekerja secara efektif. Di lain sisi, wilayah koloni juga punya peran krusial untuk negaranegara Eropa menghimpun kekuatan militer, keamanan nasional, sampai nasionalisme.Dari sini lantas muncul anggapan bahwa kepemilikan koloni adalah indikasi kebesaran sebuah negara. Koloni menjadi simbol status.

Jerman tak ingin ketinggalan dalam pertarungan tersebut kendati masih terhitung berusia muda dan relatif baru bersatu. Ini terlihat jelas selama Perang Dunia I dan II. Agresi Jerman pada waktu itu didorong oleh kombinasi dari sepasang kekuatan revolusioner: nasionalisme dan industrialisasi. Hasilnya ialah kapitalisme negara yang dimanfaatkan untuk mendominasi secara politik. Setelah Perang Dunia, Eropa terbelah menjadi dua: Blok Barat dan Blok Timur. Jerman pun turut terbelah, yang ditandai dengan dibangunnya Tembok Berlin. Masing-masing wilayah berdiri dengan kedaulatan maupun paham politiknya sendiri:

Jerman Barat cenderung liberal, sementara Jerman Timur berideologi komunis. Meski begitu, keduanya tetap berupaya menjalin relasi mutualisme, terutama dalam hal perekonomian. Pembagian wilayah Jerman didasarkan pada Konferensi Yalta dan Konferensi Postdam (“Berlin Wall” dalam History.Com Editor, 9 November 2019).

Salah satu Tembok Berlin yang masih tersisa

Situasi perlahan berubah ketika krisis ekonomi dan politik menyapu negara-negara komunis di sebagian besar wilayah timur Eropa pada akhir 1980-an. Keadaan tersebut mendorong lahirnya protes besar-besaran terhadap pemerintahan kiri. Protes dimulai dari Hungaria, Bulgaria, Ceko, sampai Rumania. Tuntutannya sama: rezim Stanilis harus turun takhta. Masyarakat sudah muak dengan pemerintah yang otoriter, pembungkaman kebebasan, hingga nasionalisasi besar-besaran industri dalam negeri demi menghapuskan kapitalisme dan kepemilikan pribadi.

Mengutip Marta Zawilska-Florczuk dan Artur Ciechanowicz dalam “One Country, Two Societies? Germany Twenty Years after Reunifi cation”  menerangkan, bahwa pada musim panas 1989 demonstrasi massal terjadi di Berlin sampai Leipzig. Beberapa bulan sebelumnya, ribuan orang Jerman Timur meninggalkan rumah mereka untuk pergi ke Hungaria maupun Austria demi penghidupan yang lebih baik. Yang dinanti akhirnya tiba. Pada 9 November 1989 Tembok Berlin runtuh, sekaligus menjadi simbol hancurnya rezim komunis di wilayah Eropa. Runtuhnya Tembok Berlin kemudian diikuti munculnya wacana penyatuan Jerman. Namun, upaya ke sana tak mudah. Penolakan masih ada. Argumennya: penyatuan Jerman hanya akan merusak tatanan global pasca-Perang Dunia II. Akhirnya skenario reunifi kasi tersebut terealisasi juga setelah perekonomian Jerman Timur makin kolaps tak terkendali.

Perdana Menteri Jerman Timur Hans Modrow meminta Kanselir Jerman Barat Helmut Kohl untuk meminjami anggaran rekonstruksi ekonomi sebesar 15 miliar deutsche mark. Oleh Kohl, permintaan Jerman Timur dianggap sebagai pintu masuk untuk penyatuan wilayah. Benar saja. Setelah menempuh lobi-lobi politik yang melibatkan dua pihak, rencana reunifi kasi pun terwujud pada Oktober 1990. Jerman tak lagi terbelah.

Konsekuensi reunifi kasi Jerman antara lain terlihat secara ekonomi terjadi pelambatan pertumbuhan ekonomi, karena harus menanggung industri di Jerman Timur yang mengalami kebangkrutan (“German reunifi cation” dalam New World Encyclopedia, Terjadinya migrasi besar-besaran tenaga kerja dari wilayah Jerman Timur ke wilayah Jerman Barat untuk memperoleh pekerjaan dan mencari kehidupan yang baru. Dalam kehidupan sipil, partisipasi politik semakin meningkat, baik melalui pemilihan umum lokal maupun pemilihan umum nasional.