Apartheid di Afrika Selatan

Pada awalnya Afrika Selatan merupakan wilayah yang banyak diperebutkan oleh beberapa negara Eropa. Pada 1931, Afrika Selatan menjadi jajahan Negara Inggris sepenuhnya. Dan pada tahun 1940-an, Partai Nasional (NP) memperoleh mayoritas di parlemen. Strategi-strategi partai tersebut telah menciptakan dasar apartheid (yang disahkan pada tahun 1948), suatu cara untuk mengawal sistem ekonomi dan sosial negara dengan dominasi kulit putih dan diskriminasi ras (Budiman, 2013).

Arsitek apartheid, Hendrik Verwoerd tatkala menjabat Perdana Menteri Republik Afrika Selatan, menerapkan ideologi apartheid yang dikuatkan dengan undang-undang. Intinya: “the central tenet of Apartheidwas that each group should develop separatly and achive autonomy in its area.” Hal itu dijabarkan dalam empat pemikiran:

  1. Penduduk Afrika terdiri atas empat ras, yakni ras putih, berwarna, India, dan Afrika;
  2. Putih adalah ras beradab;
  3. Kepentingan putih harus di atas kepentingan hitam;
  4. Ras putih adalah Afrikaners dan kulit putih berbahasa Inggris. Afrikaners berpendapat bahwa pemisahan penting untuk kelangsungan hidup mereka.

Sistem apatheid di Afrika Selatan antara lain dilakukan dalam bentuk pemisahan kelompok kulit hitam, diskriminasi ras dengan memperlakukan perbedaan kelompok warga kulit hitam dan kelompok warga kulit putih di area pemerintahan, pekerjaan, dan tempat tinggal (Mhlauli, 2015). Hal tersebut berpengaruh dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Dalam bidang pendidikan, kurikulum dan sekolah kelompok warga kulit hitam dibedakan dengan kelompok warga kulit putih. Dalam kurikulum kelompok warga kulit putih ditekankan pentingnya politik apatheid untuk melanggengkan kekuasaan.

Salah satu papan penanda di pantai yang dikhususkan untuk orang kulit putih

Demikian juga ketika diberlakukan undang-undang yang mengatur kehidupan secara apartheid, pemerintahan kulit putih sebenarnya bermaksud untuk menguasai kehidupan pribadi warga kulit hitam, tanah-tanah yang dimilikinya, dan semua sumber alam yang ada. Dengan politik apartheidnya, pemerintahan kulit putih di Afrika Selatan telah menghisap semua sendi-sendi kehidupan warga kulit hitam.

Pada Februari 1990, akibat dorongan dari bangsa lain dan tentangan hebat dari berbagai gerakan anti apartheid khususnya Kongres Nasional Afrika (African National Congress- ANC), pemerintahan Partai Nasional di bawah pimpinan Presiden Frederik Willem de Klerk menarik balik larangan terhadap Kongres Nasional Afrika dan partai-partai politik berhaluan kiri yang lain dan membebaskan Nelson Mandela dari penjara. Undang-undang apartheid mulai dihapus secara perlahan-lahan dan pemilu tanpa diskriminasi yang pertama diadakan pada tahun 1994. Partai ANC meraih kemenangan yang besar dan Nelson Mandela, dilantik sebagai Presiden kulit hitam yang pertama di Afrika Selatan (Budiman, 2013).

Nelson Mandela adalah seorang negarawan besar Afrika Selatan bahkan dunia yang konsisten terhadap perjuangannya menentang rezim apartheid yang rasialis (Budiman, 2013). Lebih lanjut dijelaskan riwayah hidup Nelson Mandela dalam Budiman (2013), bahwa ia dilahirkan pada tanggal 18 Juli 1918, nama asli yang diberikan orang tuanya adalah Rolihlala Mandela, namun karena gurunya kesulitan dalam melafalkan, kemudian diberi nama Nelson, nama Kapten Inggris waktu itu, belakangan dalam perjuangannya ia juga dikenal dengan nama Madiba.

Nelson Mandela

Nelson merupakan orang pertama dari keluarganya yang masuk sekolah. Beranjak dewasa Nelson pernah menjadi seorang pengacara, sebelum akhirnya ia terjun ke kancah politik dan menjadi ketua ANC, sebuah wadah perjuangan kulit hitam Afrika untuk menuntut persamaan hak, di mana Nelson menentang rezim apartheid dengan gigih. Nelson Mandela dengan cepat berkenalan dengan gerakan persamaan hak pada waktu itu. Hal itu mengindikasikan pula, bahwa ia dengan cepat berkenalan dengan para tokoh persamaan hak, terutama Oliver Tambo.

Pada awalnya perjuangan yang ia lancarkan beserta partai yang ia pimpin, ANC adalah perjuangan-perjuangan damai, oleh sebab itulah pada Agustus 1958, ANC pecah, dengan pisahnya Robert Mangaliso Sobukwe, yang menganggap ANC tidak radikal, dan kurang tegas dalam melakukan penentangan, para pengkritik terhadap ANC ini kemudian mendirikan Pan African Congress (PAC), sebagai wadah perjuangannya. Sementara itu, Mandela sendiri masih tetap berjuang tanpa jalan kekerasan dengan memimpin kampanye menuntut Konvensi Nasional untuk membuat undang-undang baru Afrika Selatan yang adil dan anti diskriminasi pada Mei 1961. Namun ketika pemerintah menolak, Mandela mengkampanyekan aksi pemogokan, yang kemudian ditanggapi dengan kekerasan dan brutal oleh penguasa. Barulah pada Juni 1961, proses awal titik balik kesadaran Mandela dan bangsa hitam Afrika. Sebab kekerasan apartheid sudah benar-benar menjadi kekerasan struktural. Oleh karena itu sudah tidak ada artinya lagi perjuangan dilakukan dengan jalan damai, ketika perjuangan tersebut selalu dihadapkan dengan peluru, sehingga Nelson berpikir ketika violence dan non violence menjadi dua pilihan yang harus diambil, dan lebih memilih pergerakan yang bersifat nyata dengan nyawa sebagai taruhannya. Aksi sabotase pun diambil, sebagai jawaban atas tindakan kekerasan ekstrem dari penguasa apartheid. Aksi kekerasan sendiri sebelumnya telah terjadi pada 21 Maret 1960, ketika terjadi pembantaian di Sherpeville, dan berakhir dengan pembantaian ribuan jiwa dan berbuntut pada pelarangan ANC dan pecahan sayap kanan radikal PAC.

Meskipun gerakan-gerakan penentang apartheid terus meningkat, dan bahkan telah terjadi bentrokan, namun untuk sementara tidak menggoyahkan pemerintah kulit putih untuk segera menghapuskan pilitik apartheid. Nelson Mandela sendiri terus melancarkan gerakan protes yang diorganisir melalui ANC yang ia pimpin, yang kemudian pula menjadi gerakan missal demonstrasi, boikot, mogok kerja, dan pembakaran-pembakaran paspor kulit hitam. Tak cukup itu, ia pun kemudian mendirikan dan memimpin sayap militer ANC, yakni Umkhonto we sizwe, terakhir, ketika di pengadilan, Nelson mengaku melakukan sabotase terhadap tentara, dan merencanakan serta menyusun perang gerilya. Hal tersebut mengindikasikan pula, bahwa dalam perjuangannya melawan apartheid, ANC juga melakukan pelanggaran HAM, laporannya kepada komisi kebenaran dan rekonsiliasi.

Nelson Mandela sendiri melakukan perlawanan bersenjata dalam gerakan bawah tanah, dengan menyerang pusat-pusat industri. Ia berada dalam persembunyian selama beberapa tahun, oleh karena penguasa menganggapnya sebagai yang berbahaya. Nelson berhasil ditangkap pada 1964 dan dikenakan hukuman seumur hidup bersama Walter Sisulu. Ketika pengadilan memutuskan hukuman tersebut, Nelson menyatakan rela mati demi persamaan hak. Delapan belas tahun setelah berada dalam penjara di Pulau Robben, Mandela ditawari bebas bersyarat dan akan diberi suaka ke Transkei, namun ia menolak, ia hanya ingin bebas tanpa syarat dan bebas dari tahanan sebagai orang merdeka bagi persamaan hak orang kulit hitam. Hal itu terjadi dalam pemerintahan Presiden Frederik Willem de Klerk tahun 1989 dan pada Februari 1990 Nelson Mandela dibebsakan (Welsh, 2009).

Akhirnya selama 27 tahun lamanya ia ditahan, Nelson Mandela dibebaskan tanpa syarat, setelah Presiden Frederik Willem de Klerk mengupayakan reformasi total dan melakukan perundingan dengan ANC dan akan mengadakan pemilu bebas pada 1994 yang kemudian partai yang dipimpin Mandela memenangkan pemilu, dan ia menjadi Presiden kulit hitam pertama Afrika Selatan. Tugas-tugas awalnya ialah mengupayakan rekonsiliasi nasional agar tidak muncul lagi konfl ik antar-ras, khususnya saling dendam, pada gilirannya dibentuklah sebuah komisi, yakni komisi kebenaran dan rekonsiliasi.