PERAN PBB TERHADAP KEMERDEKAAN RI

Perserikatan Bangsa-Bangsa atau yang lebih dikenal dengan nama PBB adalah sebuah organisasi internasional yang anggotanya hampir seluruh negara di dunia. Lembaga ini dibentuk untuk memfasilitasi dalam hukum internasional, pengamanan internasional, lembaga ekonomi, dan perlindungan sosial.

PBB didirikan pada tahun 1945 setelah Perang Dunia II untuk menggantikan Liga Bangsa- Bangsa, untuk menghentikan perang antara negara, dan untuk menyediakan panggung untuk dialog, oleh karena itu PBB sangat berperan penting dalam perang kemerdekaan di Indonesia karena diIndonesia banyak sekali peperangan yang terjadi baik itu dengan dalam negeri maupun dengan luar negeri seperti Belanda.

Peran PBB dalam kemerdekaan RI dapat dilihat dengan turut campurnya dalam peristiwa Agresi Belanda yang dilancarkan terhadap wilayah dan kedaulatan Republik Indonesia. Bahkan PBB secara bersungguh-sungguh turut memerdekakan dan berusaha menyelesaikan pertikaian bersenjata antara Indonesia dan Belanda selama masa revolusi fisik (1945-1950).Pada tanggal 21 Januari 1949 Dewan Keamanan PBB bersidang. Dalam sidang tersebut Amerika mengeluarkan resolusi yang disetujui oleh semua negara anggota, yaitu:

  1. Bebaskan Presiden dan Wakil Presiden serta pemimpin-pemimpin Republik Indonesia yang ditangkap pada tanggal 19 Desember 1948.
  2. Memerintahkan KTN agar memberikan laporan lengkap mengenai situasi di Indonesia sejak 19 Desember 1948.

Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia setelah proklamasi tercatat beberapa hasil keputusan yang berhasil di capai oleh PBB, diantaranya adalah:

  1. Piagam pengakuan kedaulatan (27 Desember 1949).
  2. Pembentukan RIS.
  3. Pembentukan Uni Indonesia-Belanda.
  4. Pembubaran tentara KNIL dan KL yang diintegrasikan ke dalam APRIS.
  5. Piagam tentang kewarganegaraan.
  6. Persetujuan tentang ekonomi-keuangan.
  7. Masalah Irian Barat akan dibicarakan kembali setahun kemudian.

Pengakuan kemerdekaan Indonesia secara de jure oleh Belanda di tandai dengan adanya Piagam Pengakuan Kedaulan pada tanggal 27 Desember 1949 dalam bentuk Negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Namun atas kesepakatan rakyat Indonesia, tanggal 17 Agustus 1950 RIS dibubarkan dan dibentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Dewan Keamanan PBB Mengeluarkan resolusi

  1. Kontak Indonesia dengan PBB

Kontak Indonesia dengan PBB dimulai setelah India dan Australia mengajukan masalah Indonesia dan Belanda untuk dimasukkan dalam agenda Dewan Keamanan PBB pada tanggal 31 Juli 1947. Usulan ini ternyata diterima dan pada tanggal 1 Agustus 1947 DK PBB mengeluarkan resolusi yang mengajak kedua belah pihak untuk menghentikan tembak menembak, menyelesaikan pertikaian melalui arbitrase atau dengan cara damai yang lain.

Menindaklanjuti ajakan PBB maka Indonesia mengutus Sutan Syahrir untuk menhadiri sidang DK PBB. Tanggal 14 Agustus 1947 Sutan Syahrir menyampaikan beberapa hal :

  1. Pengajuan usul agar Belanda menarik pasukannya dari Indonesia. Menurutnya perundingan akan sulit dilakukan jika salah satu pihak masih menghadapkan pistolnya kepada pihak kedua
  2. Untuk mengakhiri berbagai pelanggaran dan menghentikan pertempuran perlu dibentuk komisi pengawas.
  • Peran PBB dalam mendukung kemerdekaan RI

Peran PBB ditunjukkan dengan beberapa hal, diantaranya:

  1. Pada tanggal 1 Agustus 1947 DK PBB mengeluarkan resolusi yang mengajak kedua belah pihak untuk menghentikan tembak menembak, menyelesaikan pertikaian melalui arbitrase atau dengan cara damai yang lain.
  2. Pada tanggal 4 Agustus 1947 DK PBB mengeluarkan perintah kepada Belanda dan Indonesia untuk menghentikan permusuhan diantara mereka dan aksi tembak menembak.
  3. Pada tanggal 7 Agustus 1947 DK PBB mulai membahas masalah Indonesia dan Belanda dalam agendanya.
  4. Pada tanggal 25 Agustus 1947 DK PBB menerima usul AS tentang pembentukan pembentukan Komisi Jasa-Jasa Baik (Committee of Good Offi ces) untuk membantu menyelesaikan pertikaian Indonesia-Belanda. Komisi inilah yang kemudian dikenal dengan Komisi Tiga Negara (KTN), yang terdiri atas:
  5. Australia (diwakili oleh Richard C. Kirby), atas pilihan Indonesia
  6. Belgia (diwakili oleh Paul Van Zeeland), atas pilihan Belanda
  7. Amerika Serikat (diwakili oleh Dr. Frank Porter Graham), atas pilihan Australia dan Belgia.
  8. Pada tanggal 28 Januari 1949 Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi yang disampaikan kepada Indonesia dan Belanda antara lain:
  9. Mendesak Belanda untuk segera dan sungguh-sungguh menghentikan seluruh operasi militernya dan mendesak pemerintah RI untuk memerintahkankesatuankesatuan gerilya supaya segera menghentikan aksi gerilya mereka.
  10. Mendesak Belanda untuk membebaskan dengan segera tanpa syarat Presiden dan Wakil Presiden beserta tawanan politik yang ditahan sejak 17 Desember 1948 di wilayah RI; pengembalian pemerintahan RI ke Yogyakarta dan membantu pengembalian pegawai-pegawai RI ke Yogyakarta agar merekadapat menjalankan tugasnya dalam suasana yang benar-benar bebas.
  11. Menganjurkan agar RI dan Belanda membuka kembali perundingan atas dasar persetujuan Linggarjati dan Renville, dan terutama berdasarkan pembentukan suatu pemerintah ad interim federal paling lambat tanggal 15 Maret 1949, Pemilihan untuk Dewan Pembuatan Undang-Undang DasarNegara Indonesia Serikat selambat-Iambatnya pada tanggal l Juli 1949.
  12. Sebagai tambahan dari putusan Dewan Keamanan, Komisi Tiga Negara diubah menjadi UNCI (United Nations Commission for Indonesia = Komisi PBB untuk Indonesia dengan kekuasaan yang lebih besar dari KTN. UNCI berhak mengambil keputusan yang mengikat berdasarkan suara Mayoritas. Anggota UNCI terdiri dari: Merle Cochran (AS), Critchley (Australia), dan Harremans (Belgia). Tugas UNCI adalah membantu melancarkanperundingan-perundingan untuk mengurus pengembalian kekuasaan pemerintah Republik; untuk mengamati pemilihan dan berhak memajukan usul-usul mengenai berbagai hal yang dapat membantu tercapainya penyelesaian.
  13. Indonesia menjadi anggota PBB pada tanggal 28 September 1950 Pada tanggal 28 September 1950 Indonesia diterima sebagai anggota PBB yang ke-60. Hal ini berarti Kemerdekaan Indonesia secara resmi telah diakui oleh dunia internasional.

Walaupun telah menjadi anggota PBB, bangsa Indonesia masih tetap berusaha untuk dapat mengembalikan wilayah Irian Barat ke pangkuan Republik Indonesia. Usaha usaha yang ditempuh melalui sidang Majelis Umum selalu mengalami kegagalan. Oleh karena itu, sejak tanggal 19 Desember 1961 Indonesia menempuh pejuangan bersenjata dengan Tri Komando Rakyat (Trikora).

Akhirnya pejuangan bersenjata ini berhasil memaksa Belanda untuk menerima Persetujuan New York 15 Agustus 1962 dengan pokok-pokok persetujuan sebagai berikut:

  1. Penghentian permusuhan.
  2. Pembentukan UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority).Dengan begitu kekuasaan sementara atas Irian Barat dipegang PBB.

Adapun Tahap tahap penyerahan Irian Barat ke RI adalah berikut :

  1. 1 Oktober 1962 – 1 Desember 1962: masa pemerintahan UNTEA bersama Kerajaan Belanda.
  2. 1 Januari 1963 – 1 Mei 1963: masa pemerintahan UNTEA bersama Republik Indonesia.
  3. Sejak 1 Mei 1963 wilayah Irian Barat sepenuhnya berada di bawah kekuasaan Republik Indonesia.

Tahun 1969 akan diadakan Art of Free Choice, yaitu Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera).Pada tanggal 14 Juli 1969 Pepera dilaksanakan dengan keputusan rakyat Irian Barat tetap berada dalam Kesatuan Republik Indonesia.

Hubungan PBB dengan Indonesia memiliki dinamika politik yang cukup rumit. Makna hubungan tersebut dapat dijelaskan dalam peristiwa sejarah sebagai berikut:

  1. Peran PBB

Ruang lingkup peran PBB mencakup penjaga perdamaian, pencegahan konflik dan bantuan kemanusiaan. Selain itu, PBB juga menangani berbagai permasalahan mendasar seperti pembangunan berkelanjutan, lingkungan dan perlindungan pengungsi, bantuan bencana, terorisme, perlucutan senjata dan non-proliferasi, mempromosikan demokrasi, hak asasi manusia, kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, pemerintahan, ekonomi dan pembangunan sosial, kesehatan, upaya pembersihan ranjau darat, perluasan produksi pangan, dan berbagai hal lainnya, dalam rangka mencapai tujuan dan mengkoordinasikan upayaupaya untuk dunia yang lebih aman untuk ini dan generasi mendatang.

  • Sekilas Diplomasi Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa

Indonesia resmi menjadi anggota PBB ke-60 pada tanggal 28 September 1950 dengan suara bulat dari para negara anggota. Hal tersebut terjadi kurang dari setahun setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda melalui Konferensi Meja Bundar. Indonesia dan PBB memiliki keterikatan sejarah yang kuat mengingat kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada tahun 1945, tahun yang sama ketika PBB didirikan dan sejak tahun itu pula PBB secara konsisten mendukung Indonesia untuk menjadi negara yang merdeka, berdaulat, dan mandiri.

Oleh sebab itu, banyak negara yang mendaulat Indonesia sebagai “truly a child” dari PBB. Hal ini dikarenakan peran PBB terhadap Indonesia pada masa revolusi fi sik cukup besar seperti ketika terjadi Agresi Militer Belanda I, Indonesia dan Australia mengusulkan agar persoalan Indonesia dibahas dalam sidang umum PBB. Selanjutnya, PBB membentuk Komisi Tiga Negara yang membawa Indonesia-Belanda ke meja Perundingan Renville. Ketika terjadi Agresi militer Belanda II, PBB membentuk UNCI yang mempertemukan Indonesia-Belanda dalam Perundingan Roem Royen.

Pemerintah RI mengutus Lambertus Nicodemus Palar sebagai Wakil Tetap RI yang pertama di PBB. Duta Besar Palar bahkan telah memiliki peran besar dalam usaha mendapatkan pengakuan internasional kemerdekaan Indonesia pada saat konflik antara Belanda dan Indonesia pada tahun 1947. Duta Besar Palar memperdebatkan posisi kedaulatan Indonesia di PBB dan di Dewan Keamanan walaupun pada saat itu beliau hanya sebagai ”peninjau” di PBB karena Indonesia belum menjadi anggota pada saat itu. Pada saat berpidato di muka Sidang Majelis Umum PBB ketika Indonesia diterima sebagai anggota PBB, Duta Besar Palar berterima kasih kepada para pendukung Indonesia dan berjanji bahwa Indonesia akan melaksanakan kewajibannya sebagai anggota PBB. Posisi Wakil Tetap RI dijabatnya hingga tahun 1953.

  • Masalah Irian Jaya

Sebagai negara anggota PBB, Indonesia dalam menyelesaikan sengketa Irian Jaya dengan Belanda mengupayakan solusi dengan mengajukan penyelesaian permasalahan tersebut kepada PBB pada tahun 1954. Posisi Indonesia ini didukung oleh Konferensi Asia Afrika pada bulan April 1955 yang mengeluarkan sebuah resolusi untuk mendukung Indonesia dan kemudian meminta PBB untuk menjembatani kedua pihak yang berkonfl ik dalam meraih solusi damai. Namun demikian, hingga tahun 1961 tidak ada indikasi solusi damai meskipun dalam faktanya isu tersebut dibahas dalam rapat pleno Majelis Umum PBB dan di Komite I.

Pada Sidang Majelis Umum PBB ke-17 tahun 1962, penyelesaian sengketa tersebut akhirnya menemukan titik terang dengan dikeluarkannya Resolusi No. 1752 yang mengadopsi ”The New York Agreement” pada 21 September 1962. Selanjutnya, United Nations Executive Authority (UNTEA) sebagai badan yang diberi mandat oleh PBB untuk melakukan transfer kekuasaan Irian Jaya dari Belanda kepada Indonesia menjalankan tugasnya secara efektif mulai 1 Oktober 1962 dan berakhir pada 1 Mei 1963.

Sidang Dewan Musyawarah PEPERA di Fak-Fak yang berlangsung pada tanggal 23 Juli 1969. Tampak Mendagri Amir Machmud sedang memberikan sambutannya

Menanggapi keputusan PBB untuk mengakui kedaulatan Malaysia dan menjadikan Malaysia anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, Presiden Soekarno mengumumkan pengunduran diri Indonesia dari keanggotaan PBB pada tanggal 20 Januari 1965. Setelah pergantian kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru, Pemerintah Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia “bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB”, dan menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima untuk pertama kalinya.

Sebagai kelanjutan penyelesaian masalah Irian Barat, Pemerintah Indonesia melaksanakan ”Pepera” di Irian Jaya (Papua) di bawah pengawasan PBB tahun 1969. Pelaksanaan Pepera dilakukan secara demokratis dan transparan dengan melibatkan masyarakat Irian Jaya serta melibatkan partisipasi, bantuan, dan saran PBB melalui utusan khususnya yaitu Duta Besar Ortiz Sanz dari Bolivia. Pada akhirnya Pepera telah diterima oleh masyarakat internasional melalui sebuah Resolusi No. 2504 dalam Sidang Umum PBB ke-24 pada 19 November 1969 yang mengukuhkan perpindahan kekuasaan di wilayah Irian Jaya dari Belanda kepada Indonesia.

  • Peran Indonesia dalam PBB

Sebagai anggota PBB, Indonesia terdaftar dalam beberapa lembaga di bawah naungan PBB. Misalnya, ECOSOC (Dewan Ekonomi dan Sosial), ILO (Organisasi Buruh Internasional), maupun FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian). Salah satu prestasi Indonesia di PBB adalah saat Menteri Luar Negeri Adam Malik menjabat sebagai ketua sidang Majelis Umum PBB untuk masa sidang tahun 1974. Indonesia juga terlibat langsung dalam pasukan perdamaian PBB. Dalam hal ini Indonesia mengirimkan Pasukan Garuda untuk mengemban misi perdamaian PBB di berbagai negara yang mengalami konflik.

Pencapaian Indonesia di Dewan Keamanan (DK) PBB adalah ketika pertama kali terpilih sebagai anggota tidak tetap DK PBB periode 1974-1975. Indonesia terpilih untuk kedua kalinya menjadi anggota tidak tetap DK PBB untuk periode 1995–1996. Dalam keanggotaan Indonesia di DK PBB pada periode tersebut, Wakil Tetap RI Nugroho Wisnumurti tercatat dua kali menjadi Presiden DK-PBB. Terakhir, Indonesia terpilih untuk ketiga kalinya sebagai anggota tidak tetap DK PBB untuk masa bakti 2007–2009. Proses pemilihan dilakukan Majelis Umum PBB melalui pemungutan suara dengan perolehan 158 suara dukungan dari keseluruhan 192 negara anggota yang memiliki hak pilih.

Di Komisi Hukum Internasional PBB/International Law Commission (ILC), Indonesia mencatat prestasi dengan terpilihnya mantan Menlu Mochtar Kusuma Atmadja sebagai anggota ILC pada periode 1992-2001. Pada pemilihan terakhir yang berlangsung pada Sidang Majelis Umum PBB ke-61, Duta Besar Nugroho Wisnumurti terpilih sebagai anggota ILC periode 2007-2011, setelah bersaing dengan 10 kandidat lainnya dari Asia. Indonesia merupakan salah satu anggota pertama Dewan HAM dari 47 negara anggota PBB lainnya yang dipilih pada tahun 2006.

Indonesia kemudian terpilih kembali menjadi anggota Dewan HAM untuk periode 2007-2010 melalui dukungan 165 suara negara anggota PBB. PBB sebagai organisasi internasional dengan legitimasi yang bersumber dari keanggotaan yang bersifat universal, hendaknya selalu menjadi forum penanganan berbagai tantangan dan krisis global yang semakin kompleks di masa mendatang. Reformasi PBB khususnya Dewan Keamanan agar lebih mencerminkan kondisi politik dunia saat ini penting dimajukan agar upaya ini dapat efektif dan memiliki nilai legitimasi.

Indonesia akan terus berada di garis depan dalam memajukan peranan PBB mengatasi krisis global dan pada saat yang sama menyerukan perlunya reformasi PBB. Berikut ini adalah para Wakil Tetap RI yang pernah dan sedang mewakili Indonesia di PBB:

  1. Lambertus Nicodemus Palar, 1950-1953
  2. Sudjarwo Tjondronegoro, 1953-1957
  3. Ali Sastroamidjojo, 1957-1960
  4. Soekardjo Wirjopranoto, 1960-1962
  5. Lambertus Nicodemus Palar,1962-1965
  6. Dr. H. Roeslan Abdulgani, 1967-1971
  7. Yoga Soegomo, 1971-1974
  8. Ch. Anwar Sani, 1974-1979
  9. Abdullah Kamil,1979-1982
  10. Ali Alatas, 1982-1988
  11. Nana Sutresna, 1988-1992
  12. Noegroho Wisnumurti, 1992-1997
  13. Makarim Wibisono, 1997-2001
  14. Makmur Widodo, 2001-2004
  15. Rezlan Ishar Jenie, 2004-2007
  16. R.M. Marty M. Natalegawa, 2007-2009
  17. Hassan Kleib, 2010-2012
  18. Desra Percaya, 2012-2015
  19. Dian Triansyah Djani 2015-sekarang