Konflik di Asia Timur

Klaim Inggris terhadap Kepulauan Spartly, yang kemudian diikuti oleh China dan Perancis sekitar tahun 1930-an menjadi awal konfl ik di Laut China Selatan (Manurung, 2012). Nama Laut China Selatan dalam kebanyakan bahasa yang digunakan para pelaut Eropa, laut tersebut disebut sebagai South China Sea, atau Laut China Selatan. Pelaut Portugis, orang Eropa pertama melayari wilayah perairan itu dan sekaligus memberikan nama, mengatakannya sebagai Mar da China, atau Laut China.3 Mereka kemudian mengubahnya menjadi Laut China Selatan. Demikian pula, Organisasi Hidrografik Internasional menyebutnya sebagai Laut China Selatan, atau Nan Hai (Laut Selatan) dalam Bahasa China (Nainggolan, 2013: vii). Waktu Perang Dunia II, Jepang mengusir Perancis dan menggunakan Kepulauan Spartly sebagai basis kapal selam. Dengan berakhirnya Perang Dunia II, China dan Perancis kembali mengklaim kawasan tersebut, diikuti oleh Filipina yang membutuhkan sebagian kawasan tersebut sebagai bagian dari kepentingan keamanan nasionalnya. Konfl ik berkembang antara China dan negara-negara ASEAN yang melibatkan Filipina, Vietnam, Brunei, Indonesia, dan Malaysia. Filipina, Vietnam, Brunei, Indonesia, dan Malaysia memilih perluasan kerja sama ekonomi daripada mempersoalkan klaim wilayah masing-masing negara dengan China (Manurung, 2012). Namun pada saat yang sama Malaysia dan Indonesia memberi tempat bagi militer Amerika Serikat berupa fasilitas terbatas bagi transportasi udara dan laut.

Mengapa Laut China Selatan diperebutkan? Salah satu alasannya adalah Laut China Selatan adalah kawasan perairan yang strategis, yang kaya sumber daya alam (SDA) (Nainggolan, 2013: viii). Potensi kekayaan Laut China Selatan yang semakin dapat dieksplorasi belakangan ini mengungkapkan kepada dunia bahwa Paracel dan Spratly kemungkinan memiliki cadangan besar Sumber Daya Alam (SDA), terutama mineral, minyak bumi dan gas alam. Pemerintah China sendiri sangat optimistik dengan potensi SDA yang ada di sana melalui riset-riset yang terus dilaksanakannya. Berdasarkan laporan lembaga Informasi Energi Amerika (Energy Information Administration –EIA), China memperkirakan terdapatnya cadangan minyak di sana sebesar 213 miliar barel, atau sekitar 10 kali lipat cadangan nasional Amerika Serikat (AS). Sedangkan para ilmuwan AS memperkirakan terdapat sekitar 28 miliar barel minyak di kawasan Laut China Selatan. Adapun EIA menginformasikan, cadangan terbesar SDA di sana kemungkinan berasal dari gas alam, yang diperhitungkan sekitar 900 triliun kaki kubik, atau sama dengan cadangan minyak yang dimiliki Qatar.5 Di samping itu, perairan kawasan Laut China Selatan merupakan rute utama perkapalan dan sumber pencarian ikan bagi kehidupan banyak orang dari berbagai negeri yang terletak di sekitarnya.

Pada tahun 1947, China mengeluarkan peta yang merinci klaim kedaulatan RRC atas wilayah Laut China Selatan (Nainggolan, 2013: viii-ix). Keterangan Pemerintah China itu dibantah Pemerintah Vietnam, yang juga mengklaim kedaulatan atas wilayah tersebut, dengan mengatakan bahwa Pemerintah China tidak pernah mengklaim kedaulatan atas Kepulauan Paracel dan Spratly sampai dasawarsa 1940. Pemerintah Vietnam kemudian menyatakan, bahwa dua kepulauan itu masuk wilayah mereka, bukan wilayah China, sejak abad ke-17, dan mereka memiliki dokumen sebagai bukti. Filipina juga memiliki klaim kedaulatan yang sama, dengan mengangkat kedekatan geografi s ke Kepulauan Spratly sebagai dasar klaim terhadap sebagian wilayah kepulauan tersebut. Malaysia dan Brunei memiliki klaim kedaulatan terhadap sebagian kawasan di Laut China Selatan. Menurut kedua negara bertetangga dekat itu, perairan Laut China Selatan masih dalam kawasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) mereka. ZEE ditetapkan dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982 yang dapat mengklain lebar laut sampai 200 mill. Memang Brunei tidak mengklaim kepemilikan wilayah atas dua kepulauan itu, sementara Malaysia, menyatakan bahwa sejumlah kecil kawasan di Spratly adalah kepunyaan mereka.

China menyerang Kepulauan Spratly pada 1988 (Manurung, 2012). Hal ini disebabkan beberapa hal. Pertama, sejak akhir dasawarsa 1960-an, setelah dibubarkannya gerakan Revolusi Kebudayaan, pemerintah China mulai merintis jalan untuk memperbaiki citranya di dalam masyarakat internasional, khususnya dalam hubungannya dengan negara-negara Barat, dan karena hubungannya yang semakin memburuk dengan Uni Soviet, terutama setelah terjadi perang perbatasan pada 1969. Sejak itu China membuka hubungan diplomatik dengan banyak negara Barat. Sementara itu hubungannya dengan negara-negara ASEAN juga meningkat. Pada 2 Juni 1974 hubungan diplomatik antara China dan Malaysia diresmikan. Kemudian disusul hubungan diplomatik dengan Filipina pada 11 Juni 1975 dan dengan Thailand pada 1 Juli 1975. Perubahan kebijakan luar negeri China ini tampaknya menjadi pertimbangan dalam penyelesaian sengketa Kepulauan Spratly. Kedua, setelah China mengalami pergolakan politik di dalam negeri dan memuncak pada revolusi kebudayaan (1966-1968), kondisi Angkatan Laut China sangat memprihatinkan. Hal ini rupanya memengaruhi niatnya untuk melakukan penyerangan ke Kepulauan Spratly. Ketiga, setelah pada 1975 hubungan antara China dan Vietnam dapat dikatakan masih baik, sampai 1978 ketika timbul masalah-masalah bilateral seperti pengusiran penduduk keturunan China, masalah perbatasan, dan invasi pasukan Vietnam ke Kampuchea yang berhasil mendepak rezim Khmer Merah dukungan Bejing.  Hubungan kedua negara diperburuk dengan terjadinya invasi sekejap pasukan China pada Maret 1979 dengan dalih memberi pelajaran. Namun buruknya hubungan itu ternyata tidak mendorong China melakukan serbuan ke wilayah Kepulauan Spratly yang diklaim Vietnam.

Kemungkinan waktu itu dukungan Uni Soviet kepada Vietnam masih menjadi pertimbangan China, terutama setelah Vietnam dan Uni Soviet menandatangani perjanjian persahabatan dan kerja sama pada 1978. Namun ternyata setelah China berhasil menduduki beberapa pulau “milik Vietnam” di Kepulauan Spratly pada pertengahan Maret 1988, Uni Soviet mengambil sikap tidak mendukung Vietnam. Soviet justru menyerukan agar keduanya mau berunding untuk menyelesaikan konflik teritorial itu. termasuk di dalamnya Filipina, Malaysia, dan Vietnam. Dengan demikian, mau tidak mau negara-negara ASEAN juga akan ikut terkena dampaknya bila konfl ik tersebut tidak dapat diselesaikan secara damai. Kedua adalah pentingnya kawasan Laut China Selatan yang bersambungan langsung dengan perairan Asia Tenggara, tidak saja bagi negara-negara ASEAN, tetapi juga bagi negara-negara besar. Jalur laut di kawasan tersebut secara ekonomi sangat penting bagi negara-negara Asia Tenggara, terutama negara-negara ASEAN. Dalam perkembangannya, hingga 2011, China terlihat bertindak sangat agresif dalam mempertahankan Laut China Selatan. Salah satu contohnya, pelanggaran yang dilakukan China pada 25 Februari 2011. Kejadiannya sekitar 222,24 km dari pantai Pulau Palawan, di luar Spratly.