Perlawanan Imperialisme dan Kolonialisme Melalui Seni dan Sastra

  1. Eduard Douwes Dekker: Max Havelaar (1860)

Eduard Douwes Dekker (1820-1887) atau nama penanya Multatuli (dari bahasa latin, multa tuli berarti “banyak yang sudah aju derita”) adalah seorang Belanda yang peduli terhadap nasib kaum pribumi. Kepeduliannya ditunjukkan melalui novelnya yang berjudul Max HavelaarI (1860). Kelak novelnya menginspirasi pergerakan Nasional Indonesia serta sastrawan-sastrawan Indonesia, khusunya angkatan Pujangga Baru (1933-1942).

E. Douwes Dekker

Douwes Dekker adalah mantan asisten residen di Lebak, Banten yang diberhentikan setelah melaporkan Bupati Lebak kepada Residen C.P Brest van Kempen dan Gubernur Jenderal A. J. Duymaervan Twist. Dekker melaporkan sang bupati (seorang pribumi) yang dianggap telah bertindak sewenang-wenang dan melakukan pemerasan terhadap rakyat. Diluar dugaannya, van Kempen justru melaporkan Douwes Dekker ke Raad van Indie (Dewan Hindia) agar ia dipecat.

  • Mas Marco Kartodikromo: Student Hidjo (1919) dan Rasa Merdika (1924).

Mas Marco lahir tahun 1890 di Cepu, Blora, Jawa Tengah dari keluarga priyayi rendahan. Pada usia lima belas tahun, ia sudah bekerja sebagai juru tulis di perusahaan kereta api di Semarang sembari belajar bahasa Belanda.

Setelah enam tahun di tempat itu. Ia bergabung dengan Medan Prijaji di bawah pimpinan Tirto Adhi Suryo. Di Medan Prijaji inilah Mas Marco bertemu dengan Ki Hajar Dewantara dan Douwes Dekker yang kemudian menjadi bagian dari Indische Partij. Namun surat kabar itu ditutup oleh Belanda. Tirto Adhi Suryo dibuang ke pulau Bacaan dekat Halmahera.

Lewat tulisan-tulisannya, Mas Marco mengajak untuk membangun kesadaran politik bagi masyarakat lokal untuk kemudian bergerak melawan pemerintahan kolonial dalam solidaritas dan kesetaraan. Karena tulisan-tulisannya Mas Marco kemudian ditangkap oleh pemerintah kolonial pada 1926 dan dibuang ke Boven-Digoel, Papua. Ia meninggal di sana pada 1932 karena penyakt malaria.

Mas Marco Kartodikromo
  • Soewarsih Djojopoespito : Manusia Bebas (1940)

Soewarsih (1912-1977) lahir di desa Cibatok, 20 kilometer dari Bogor. Ia anak ketiga Raden Bagoes Noersaid Djojopoespito, keturunan Kesultanan Cirebon. Ibunya seorang keturunan Tionghua dari keluarga kaya. Raden Bagoes mengirim anak anaknya ke sekolah di Buitenzorg (Bogor).

Soewarsih dan kakaknya Soewarni kemudian masuk Sekolah Kartini pada 1918, tingkat MULO (sekolah dasar lanjutan), empat tahun setelah sekolah dibuka di Bogor. Setelah lulus MULO, Soewarsih mendapat beasiswa dari “Dana Kartini” di terima di sekolah pendidikan guru untuk bangsa Eropa. Seorang gurunya mengajarkan karya-karya Multatuli. Selanjutnya, ia bertemu dengan Soegondo Djojopoespito, kelak dikenal sebagai ketua Kongres Pemuda 1928, dan kemudian menikah. Keadaan ekonomi keluarga Soewarsih dan Soegondo terpuruk karena keadaan politik yang makin represif. Kaum pergerakan banyak yang ditangkap, atau setidaknya diawasi terus menerus. Guru-guru “sekolah liar” harus siap karena sewaktu-waktu mereka bisa didatangi polisi dan dilarang mengajar.

Soegondo dan Soewarsih hidup dari kota ke kota, ke Purwakarta, Bandung, Semarang dan ke Bandung lagi pada 1937. Soewarsih kehilangan pekerjaan. Ia kemudian menulis novel “Manusia Bebas” dalam versi pertamanya, dalam bahasa Belanda “Buiten het Gareel” (Di Luar Kekang). Dalam novel tersebut, dikisahkan para pendiri dan guru ”sekolah liar” yang tak mengenal rasa putus asa meski hidup serba kekurangan. Mereka juga tak mengenal rasa takut meski selalu diawasi dan diancam ditangkap oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Soewarsih Djojopoespito